Kamis, 04 November 2010
Kitab Nikah
Hadits No. 993
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
َعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 994
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 995
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
َوَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 996
Hadits itu mempunyai saksi menurut riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma'qil Ibnu Yasar.
َوَلَهُ شَاهِدٌ : عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيِّ , وَابْنِ حِبَّانَ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ
Hadits No. 997
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
Hadits No. 998
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
َوَعَنْهُ ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَّأَ إِنْسَانًا إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ : ( بَارَكَ اَللَّهُ لَكَ , وَبَارَكَ عَلَيْكَ , وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 999
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengajari kami khutbah pada suatu hajat: (artinya = Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah Allah tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya) dan membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan Hakim.
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( عَلَّمَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلتَّشَهُّدَ فِي اَلْحَاجَةِ : إِنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ , نَحْمَدُهُ , وَنَسْتَعِينُهُ , وَنَسْتَغْفِرُهُ , وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا , مَنْ يَهْدِهِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَيَقْرَأُ ثَلَاثَ آيَاتٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَالْحَاكِمُ
Hadits No. 1000
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.
َوَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Hadits No. 1001
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i dari al-Mughirah.
َوَلَهُ شَاهِدٌ : عِنْدَ اَلتِّرْمِذِيِّ , وَالنَّسَائِيِّ ; عَنِ الْمُغِيرَةِ
Hadits No. 1002
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah.
َوَعِنْدَ اِبْنِ مَاجَهْ , وَابْنِ حِبَّانَ : مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ
Hadits No. 1003
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah dia."
َوَلِمُسْلِمٍ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ? قَالَ : لَا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا )
Hadits No. 1004
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
َوَعَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ , حَتَّى يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ , أَوْ يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Hadits No. 1005
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: "berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an." Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an yang telah engkau hafal."
َوَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَلسَّاعِدِيِّ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا , وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ , فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ , فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ , فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( اِنْطَلِقْ , فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا , فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ ) وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( أَمْكَنَّاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ )
Hadits No. 1006
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu beliau bersabda: "Surat apa yang engkau hafal?". Ia menjawab: Surat al-Baqarah dan sesudahnya. Beliau bersabda: "Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat."
َوَلِأَبِي دَاوُدَ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : ( مَا تَحْفَظُ ? قَالَ : سُورَةَ اَلْبَقَرَةِ , وَاَلَّتِي تَلِيهَا. قَالَ : قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً )
Hadits No. 1007
Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sebarkanlah berita pernikahan." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.
َوَعَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ اَلزُّبَيْرِ , عَنْ أَبِيهِ ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( أَعْلِنُوا اَلنِّكَاحَ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Hadits No. 1008
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.
َوَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
Hadits No. 1009
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: "Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
َوَرَوَى اْلإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ ابْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوْعًا ( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Hadits No. 1010
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Hadits No. 1011
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1012
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya." Riwayat Imam Muslim. Dalam lafaz lain disebutkan, "Tidak ada perintah bagi wali terhadap janda, dan anak yatim harus diajak berembuk." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
َوَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ : ( لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ اَلثَّيِّبِ أَمْرٌ, وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيُّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 1013
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya." Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Hadits No. 1014
Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas adalah dari ucapan Nafi'.
َوَعَنْ نَافِعٍ , عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الشِّغَارِ ; وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ اَلرَّجُلُ اِبْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ اَلْآخَرُ اِبْنَتَهُ , وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاتَّفَقَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَلَى أَنَّ تَفْسِيرَ اَلشِّغَارِ مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ
Hadits No. 1015
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bercerita bahwa ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Ada yang menilainya hadits mursal.
َوَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ: أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ , فَخَيَّرَهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَابْنُ مَاجَهْ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
Hadits No. 1016
Dari Hasan, dari Madlmarah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali, ia milik wali pertama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi.
َوَعَنْ اَلْحَسَنِ , عَنْ سَمُرَةَ , عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ , فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Hadits No. 1017
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang budak yang menikah tanpa izin dari tuannya atau keluarganya, maka ia dianggap berzina." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
َوَعَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ أَوْ أَهْلِهِ , فَهُوَ عَاهِرٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ , وَكَذَلِكَ اِبْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 1018
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya." Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1019
Dari Utsman Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan." Riwayat Muslim. Dalam riwayatnya yang lain: "Dan tidak boleh melamar." Ibnu Hibban menambahkan: "Dan dilamar."
َوَعَنْ عُثْمَانَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ , وَلَا يُنْكَحُ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَلَا يَخْطُبُ ) وَزَادَ اِبْنُ حِبَّانَ : ( وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ )
Hadits No. 1020
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.
َوَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( تَزَوَّجَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1021
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.
َوَلِمُسْلِمٍ : عَنْ مَيْمُونَةَ نَفْسِهَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ )
Hadits No. 1022
Dari Uqbah Ibnu Amir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya syarat yang paling patut dipenuhi ialah syarat yang menghalalkan kemaluan untukmu." Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ أَحَقَّ اَلشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ , مَا اِسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اَلْفُرُوجَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1023
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian bleiau melarangnya. Riwayat Muslim.
َوَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ : ( رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 1024
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah mut'ah pada waktu perang khaibar. Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ عَلَيٍّ رضي الله عنه قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1025
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri pada waktu perang khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud.
َوَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( نَهى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ أَكْلِ الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ ) اخرجه السبعة إلا أبا داود
Hadits No. 1026
Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
َوَعَنْ رَبِيْعِ ابْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُحَلِّ سَبِيْلَهَا وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا أتَيْتُمُوْاهُنَّ شَيْئًا) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُوْا دَاوُدَ وَالنَّسَائِىُّ وَابْنُ مَاجَهُ وَأَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 1027
Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
َوَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالنَّسَائِيُّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Hadits No. 1028
Dalam masalah ini ada hadits dari Ali yang diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i.
َوَفِي اَلْبَابِ : عَنْ عَلِيٍّ أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ
Hadits No. 1029
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang berzina yang telah dicambuk tidak boleh menikahi kecuali dengan wanita yang seperti dia." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan para perawi yang dapat dipercaya.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَنْكِحُ اَلزَّانِي اَلْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Hadits No. 1030
'Aisyah .ra berkata: ada seseorang mentalak istrinya tiga kali, lalu wanita itu dinikahi seorang laki-laki. Lelaki itu kemudian menceraikannya sebelum menggaulinya. Ternyata suaminya yang pertama ingin menikahinya kembali. Maka masalah tersebut ditanyakan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: "Tidak boleh, sampai suami yang terakhir merasakan manisnya perempuan itu sebagaimana yang dirasakan oleh suami pertama." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.
َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا , قَالَتْ : ( طَلَّقَ رَجُلٌ اِمْرَأَتَهُ ثَلَاثًا , فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ , ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا , فَأَرَادَ زَوْجُهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا , فَسُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ , فَقَالَ : لَا حَتَّى يَذُوقَ اَلْآخَرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ اَلْأَوَّلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Sabtu, 23 Oktober 2010
BAB KEUTAMAAN HAJI DAN YANG BERKEWAJIBAN HAJI
Hadits No. 726
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak ada pahala bagi haji mabruru kecuali surga." Muttafaq Alaihi.
Hadits No. 727
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita itu diwajibkan jihad? Beliau menjawab: Ya, mereka diwajibkan jihad tanpa perang di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan lafadz menurut riwayatnya. Sanadnya shahih dan asalnya dari shahih Bukhari-Muslim.
Jumat, 03 September 2010
Do'a - Do'a Mustajab..
(1). Sepertiga Akhir Malam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga mendekati sepertiga akhir malam, lalu berfirman ; barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya".
(Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat bab Doa Nisfullail 7/149-150)
(2). Tatkala Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berpuasa
Dari Abdullah bin 'Amr bin'Ash Radhiyallahu'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika saat berbuka ada doa yang tidak ditolak".
(Sunan Ibnu Majah, bab Fis Siyam La Turaddu Da'watuhu 1/321 No. 1775. Hakim dalam kitab Mustadrak 1/422. Dishahihkan sanadnya oleh Bushairi dalam Misbahuz Zujaj 2/17),
(3). Setiap Selepas Shalat Fardhu
Dari Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengari oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baginda Shallallahu’alaihi wa sallam menjawab.
"Artinya : Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu".
(Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'awaat 13/30. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/167-168 No. 2782).
(4). Ketika Saat Perang Berkecamuk
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak ; doa ketika saat adzan dan doa ketika perang berkecamuk".
(Sunan Abu Daud, kitab Jihad 3/21 No. 2540. Sunan Baihaqi, bab Shalat Istisqa' 3/360. Hakim dalam Mustadrak 1/189. Dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkaar hal. 341. Dan Al-Albani dalam Ta'liq Alal Misykat 1/212 No. 672).
(5). Sesaat ketika Hari Jum'at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu bahwa Abul Qasim Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya pada hari Jum'at ada satu saat yang tidaklah bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan diberikan padanya, beliau berisyarat dengan tangannya akan sedikitnya waktu tersebut".
(Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat 7/166. Shahih Muslim, kitab Jumuah 3/5-6)
Waktu yang sesaat itu tidak dapat diketahui secara tepat dan masing-masing riwayat menyebutkan waktu tersebut secara berbeda-beda, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 11/203.
Dan kemungkinan besar waktu tersebut berada ketika saat imam atau khatib naik ke mimbar sehingga selesai shalat Jum'at atau sehingga selesai waktu shalat ashar bagi orang yang menunggu shalat maghrib.
(6). Ketika Waktu Bangun Tidur Pada Malam Hari Bagi Orang Yang Sebelum Tidur Dalam Keadaan Suci dan Berdzikir Kepada Allah
Dari 'Amr bin 'Anbasah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda.
"Artinya :Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya".
(Sunan Ibnu Majah, bab Doa 2/352 No. 3924. Dishahihkan oleh Al-Mundziri 1/371 No. 595)
Terbangun tanpa sengaja pada malam hari.(An-Nihayah fi Gharibil Hadits 1/190) Yang dimaksudkan dengan "ta'ara minal lail" terbangun dari tidur pada malam hari.
(7). Doa Di antara Adzan dan Iqamah
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Doa tidak akan ditolak di antara adzan dan iqamah".
(Sunan Abu Daud, kitab Shalat 1/144 No. 521. Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'waat 13/87. Sunan Al-Baihaqi, kitab Shalat 1/410. Dishahihkan oleh Al-Albani, kitab Tamamul Minnah hal. 139)
(8). Doa Ketika Waktu Sujud di Dalam Shalat
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa karena saat itu sangat tepat untuk dikabulkan".
(Shahih Muslim, kitab Shalat bab Nahi An Qiratul Qur'an fi Ruku' wa Sujud 2/48)
Yang dimaksudkan adalah sangat tepat dan layak untuk dikabulkan doa kamu.
(9). Ketika Saat Sedang Hujana
Dari Sahl bin a'ad Radhiyallahu 'anhu bahwanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda.
"Artinya : Dua doa yang tidak pernah ditolak ; doa ketika waktu adzan dan doa ketika waktu hujan".
(Mustadrak Hakim dan dishahihkan oleh Adz-Dzahabi 2/113-114. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' No. 3078).
Imam An-Nawawi berkata bahwa penyebab doa pada waktu hujan tidak ditolak atau jarang ditolak ialah kerana pada saat itu sedang turun rahmat khususnya curahan hujan pertama di awal musim. (Fathul Qadir 3/340).
(10). Ketika Saat Ajal Tiba
Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah’alaihi wasallam mendatangi rumah Abu Salamah (pada hari wafatnya), dan beliau mendapati kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau’alaihi wasallam memejamkannya kemudian bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya'. Semua keluarga histeria. Baginda’alaihiwasallam bersabda : 'Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali kebaikan, karena para malaikat mengamini apa yang kamu ucapkan".
(Shahih Muslim, kitab Janaiz 3/38)
(11). Ketika Malam Lailatul Qadar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sehingga terbit fajar".
(Al-Qadr : 3-5)
Imam As-Syaukani berkata bahwa kemuliaan Lailatul Qadar mengharuskan doa setiap orang pasti dikabulkan.
(Tuhfatud Dzakirin hal. 56)
(12). Doa Ketika Hari Arafah
Dari 'Amr bin Syu'aib Radhiyallahu 'anhu dari bapaknya dari datuknya bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah".
(Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'waat 13/83. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Ta'liq alal Misykat 2/797 No. 2598)
Wassalam.
Wallahu’alambishawab.
Minggu, 18 Juli 2010
Peringatan Isra Mi'raj 1431 H - 16 Juli 2010/ 04 Sya'ban 1431 H
Senin, 21 Juni 2010
( صحيح البخاري )
Sungguh Rasulullah saw keluar menyampaikan tausiyah, maka berdirilah Abdullah bin Hudzafah ra, seraya berkata : siapa ayahku?, maka bersabda Rasul saw : ayahmu hudzafah, lalu Rasul saw mengangkat suara dg tegas : silahkan kalian Tanya aku..!, Tanya aku..!, maka berlutut Sayyidina Umar ra dihadapan beliau saw dan berkata : “Kami ridho dg Allah sebagai Tuhan, dan islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai nabi kami, maka Rasul saw tenang dan diam (Shahih Bukhari)
Senin, 24 Mei 2010
Peringatan Isra Mi'raj 1431 H
Jumat, 14 Mei 2010
Menghargai Keberadaan Anak dengan Memberi Julukan Bapaknya dengan Nama Anak
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?" (QS, Alam Nasyrah (94) :1)
(Abu Dawud, Kitabul Adab 4304 dan Nasa'i, Kitab Adabul Qadha' 5292)
Senin, 12 April 2010
Maulid Akbar
Hadirilah... Hadirilah... Hadirilah!!!
Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW
Insya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari : Rabu Malam Kamis
Tanggal : 21 April 2010/ 06 Jumadil Awal 1431 H
Waktu : 20.00 WIB s/d Selesai
Alamat : Jl. Inspeksi Pinggir Kali Kembang IX
Kelurahan Kwitang Kecamatan Senen
Jakarta Pusat 10420
Insya Allah Akan Dihadiri :
1. Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa - Pimpinan Majelis Rasulullah SAW
2. Al Habib Mustafa Abdullah Alaydrus - Pimpinan Majelis Asmaul Husna dan Ratib Syamsi Syumus
3. Al Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al Habsyi - Pimpinan Majelis Ta'lim Al Habib Ali Al Habsyi Kwitang
Selasa, 23 Februari 2010
Maulid Akbar - Majelis Rasulullah
Maulid Akbar
Majelis Rasulullah SAW
Dzikir Ya Allah 1000X serta Doa untuk Bangsa
Insya Allah Akan dilaksanakan :
Jumat : 26 Februari 2010
Bertempat : Monumen Nasional
Waktu : 07 : 00 WIB - 09 : 30 WIB
Kamis, 28 Januari 2010
Laporan Keuangan Bulan Desember 2009
4. Edwin Kurniawan. Rp. 100.000.- Cash
Estimasi Pengeluaran"Majelis Ta'lim Al Hijrah"(Desember 2009)
Saldo s/d 3 Januari 2010 _ Rp. 1,120,000.-
Rabu, 20 Januari 2010
Pemikiran Salafi
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar
Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
Memahami kasus-kasus furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
Menyerukan “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” dan kebekuan.
Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti “manhaj salafi” yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “negara ilmu dan Iman”. Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.
Citra “Salafiah” Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra
Istilah “Salafiah” telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap “salafiah”. Orang-orang yang pro-salafiah – baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah – telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda “debat” dan “polemik”, bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan “Salafiah” ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “terbelakang”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan “salafiah” dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham “taqlid”, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’l – malaam ‘anil – A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka
Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang “pembaharu” (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai “pengikut Salaf”.
Mengenal Imam Syafi’i
Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.Penghijrahan ke Palestine
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestine kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.
Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestine pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.
PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I
Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya.
Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestine ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).
Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.
Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun.
Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.
Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )Apabila Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran.
Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.
Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa erti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y.
Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.
Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.
Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.
Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personaliti dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).
Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.
Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.
Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.
FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I
Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.
Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.Imam As-Shafi’i pulang ke pangkuan Ilahi pada tahun 204H, tetapi kepulangannya itu tidaklah mengakibatkan sebarang penjejasan terhadap perkembangan aliran Fiqhi dan Usuli yang diasaskannya. Malahan asas itu disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.
PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I
Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.
Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya
sumber: http://islam.blogsome.com
Perkembangan Madzhab Asy-Syafi’i
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pwmbentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.
Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada 3 peringkat :1. Peringkat Makkah (186 – 195H)2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)3. Peringkat Mesir (199 – 204H)
Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.Penulisan Pertamanya
Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.
Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.
Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.
Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab QadimDi samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.
Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-1. Al-Amali2. Majma’ al-Kafi3. ‘Uyun al-Masa’il4. Al-Bahr al-Muhit5. Kitab al-Sunan6. Kitab al-Taharah7. Kitab al-Solah8. Kitab al-Zakah9. Kitab al-Siam10. Kitab al-Haj11. Bitab al-I’tikaf12. Kitab al-Buyu’13. Kitab al-Rahn14. Kitab al-Ijarah15. Kitab al-Nikah16. Kitab al-Talaq17. Kitab al-Sadaq18. Kitab al-Zihar19. Kitab al-Ila’20. Kitab al-Li’an21. Kitab al-Jirahat22. Kitab al-Hudud23. Kitab al-Siyar24. Kitab al-Qadaya25. Kitab Qital ahl al-Baghyi26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain
Setengah perawi pula telah menyebut bahawa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawapan dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawapan terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.
Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawapan dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.
Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim
Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.
Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.
Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpunca dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.
Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-1. Al-Risalah2. Kitab al-Siyam3. Kitab al-Sadaq4. Kitab al-Hudud5. Kitab al-Rahn al-Saghir6. Kitab al-Ijarah7. Kitab al-Jana’iz
Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah.
Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian. Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.
Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.
Kitab-kitab Mazhab JadidDi antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpeindah ke Mesir.ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-
a) Di dalam bab Taharah :1. Kitab al-Wudu’2. Kitab al-Tayammum3. Kitab al-Taharah4. Kitab Masalah al-Mani5. Kitab al-Haid
b) Di dalam bab Solah :6. Kitab Istiqbal al-Qiblah7. Kitab al-Imamah8. Kitab al-Jum’ah9. Kitab Solat al-Khauf10. Kitab Solat al-‘Aidain11. Kitab al-Khusuf12. Kitab al-Istisqa’13. Kitab Solat al-Tatawu’14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah15. Kitab al-Jana’iz16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat :17. Kitab al-Zakah18. Kitab Zakat Mal al-Yatim19. Kitab Zakat al-Fitr20. Kitab Fard al-Zakah21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :22. Kitab al-Siyam al-Kabir23. Kitab Saum al-Tatawu’24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji :25. Kitab al-Manasik al-Kabir26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir
f) Di dalam bab Mu’amalat :28. Kitab al-Buyu’29. Kitab al-Sarf30. Kitab al-Salam31. Kitab al-Rahn al-Kabir32. Kitab al-Rahn al-Saghir33. Kitab al-Taflis34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir35. Kitab al-Sulh36. Kitab al-Istihqaq37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi42. Kitab al-‘Ariah43. Kitab al-Ghasb44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :45. Kitab al-Ijarah46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir49. Kitab Kara’ al-Ard50. Kara’ al-Dawab51. Kitab al-Muzara’ah52. Kitab al-Musaqah53. Kitab al-Qirad54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :55. Kitab al-Mawahib56. Kitab al-Ahbas57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :58. Kitab al-Wasiat li al-Warith59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq60. Kitab Taghyir al-Wasiah61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :63. Kitab al-Mawarith64. Kitab al-Wadi’ah65. Kitab al-Luqatah66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah :67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah68. Kitab Tahrim al-Jam’i69. Kitab al-Shighar70. Kitab al-Sadaq71. Kitab al-Walimah72. Kitab al-Qism73. Kitab Ibahat al-Talaq74. Kitab al-Raj’ah75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz76. Kitab al-Ila’77. Kitab al-Zihar78. Kitab al-Li’an79. Kitab al-‘Adad80. Kitab al-Istibra’81. Kitab al-Rada’82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :83. Kitab Jirah al-‘Amd84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat85. Kitab Istidam al-Safinatain86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad88. Khata’ al-Tabib89. Jinayat al-Mu’allim90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam91. Kitab al-Qasamah92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud :93. Kitab al-Hudud94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah95. Qutta’ al-Tariq96. Sifat al-Nafy97. Kitab al-Murtad al-Kabir98. Kitab al-Murtad al-Saghir99. Al-Hukm fi al-Sahir100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad :101. Kitab al-Jizyah102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi104. Kitab Qital al-Mushrikin105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab109. Kitab al-Dahaya al-Kabir110. Kitab al-Dahaya al-Saghir111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih112. Kitab Dhabaih Bani Israil113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :114. Kitab Adab al-Qadi115. Kitab al-Shahadat116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat118. Kitab al-Aqdiah119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :120. Kitab al-‘Itq121. Kitab al-Qur’ah122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah123. Kitab al-Wala’ wa al-Half124. Kitab al-Wala’ al-Saghir125. Kitab al-Mudabbir126. Kitab al-Mukatab127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad128. Kitab al-Shurut
Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith2. Kitab Jima’ al-Ilm3. Kitab Ibtal al-Istihsan4. Kitan Ahkam al-Qur’an5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah11. Kitab Fada’il Quraysh
Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.