TERIMA KASIH KEPADA PARA DONATUR ATAS PARTISIPASINYA MENSUKSESKAN ACARA ISRA DAN MIRAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW 1431 H TGL. 16 JULI 2010 / 04 SYA'BAN 1431 H

اللسلام علليكم ورحمة الله وبر كا ته

Allahu Nuurrus Samawati Wal Ardh

Allah Adalah Cahaya Langit Dan Bumi

Limpahan puji kehadhirat Allah SWT, yang memuliakan kita dengan undangan agung,



Yaa Rahman.. Yaa Rahim.. Irhamnaa
YA ALLAH AMPUNKAN DOSA KAMI DENGAN KEMULIAAN NABI MUHAMMAD SAW


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu ( MUHAMMAD )tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran










Jumat, 31 Juli 2009

K.H. Saifuddin Amsir: Jangan Pernah Meninggalkan Ulama




Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama....



Sejarah pernah mencatat munculnya sejumlah ulama terkemuka asal Jakarta, atau Betawi dulunya. Mulai dari kebesaran nama Syaikh Junaid Al-Batawi, dari sedikit tokoh ulama asal Indonesia yang berkesempatan mengajar di majelis ilmu terhormat di Masjidil Haram. Setelah itu, ketokohan Habib Utsman Bin Yahya, dengan pengaruh fatwanya yang sedemikian luas, terutama lewat seratus kitab lebih hasil karyanya, yang pengaruhnya terus terasa hingga hari ini.

Juga kisah enam Tuan Guru (Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Manshur, Guru Majid, Guru Ramli, dan Guru Khalid) para jago ilmu tanah Betawi tempo dulu yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai keilmuan dari hampir setiap ulama Jakarta di kemudian hari. Hingga munculnya sosok ulama besar dari bilangan Kwitang yang menghabiskan usianya di jalan dakwah dan penyebaran ilmu-ilmu agama, yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, pendiri Islamic Centre of Indonesia.

Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan masih menebar hawa sejuk keshalihan di seluruh penjuru kota ini hingga sekarang tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bubungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta hampir tak pernah sepi melahirkan tokoh-tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syi’ar Islam di Nusantara.

Nama-nama ulama di atas tentunya hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya para ulama dan habaib Jakarta yang telah berhasil menorehkan tinta emas dakwah di masa lalu. Kemunculan para tokoh ulama itu dari waktu ke waktu, menjadi paku kota Jakarta, yang telah berperan sesuai tantangan di zamannya masing-masing. Kehadiran mereka adalah pertanda akan keberadaan gairah ilmu-ilmu agama yang cukup besar. Mereka sendiri besar lewat gairah keilmuan itu, di tengah-tengah kultur pendidikan agama kota Jakarta yang memang tidak banyak memunculkan pondok-pondok pesantren seperti di daerah-daerah lainnya.

Gairah keilmuan itulah yang pada saat ini harus digelorakan kembali keberadaannya. Pada sisi lain, pemandangan keberagamaan masyarakat kota Jakarta saat ini cenderung memberi ruang yang lebih pada mereka yang hanya pandai bermain kata di depan forum-forum diskusi atau di layar kaca. Sebuah pemandangan yang mengundang rasa keprihatinan di sementara pihak yang terus berharap agar gairah keilmuan yang pernah ada tidak lantas tergerus oleh kecenderungan itu.

Di antara mereka, K.H. Saifuddin Amsir, seorang ulama asli Betawi, termasuk yang sangat merasakan keprihatinan tersebut. Pada banyak kesempatan ia sering kali mengingatkan, bila umat Islam ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama, yang memiliki dasar ilmu yang dalam, dan mudah terpesona oleh retorika sejumlah tokoh dengan sederet titel akademis yang sesungguhnya rapuh dalam keilmuan.

Tak cukup menyimpan rasa prihatin yang mendalam dan berkepanjangan, saat ini ia juga tengah menggarap berdirinya sebuah institusi yang diharapkannya dapat menjadi salah satu pilar gerakan ilmiah dalam menjaga tradisi keilmuan para ulama, sebagai kelanjutan dari dua puluhan lebih majelis ilmu yang telah dirintisnya sejak masih usia belasan tahun.

Bukan dari Kalangan Pesantren
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955, tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.

Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat secara berjamaah.

Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari kecil. Menyadari bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa dari pihak sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak maupun berguru pada ulama-ulama terkemuka di masa-masa mudanya, telah menjadikannya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup disegani saat ini.
Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca berbagai macam bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku tsanawiyah, ia mulai banyak berguru ke beberapa ulama di Jakarta.

Di antara ulama yang tercatat sebagai guru-gurunya adalah K.H. Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada guru-gurunya tersebut, ia mempelajari berbagai cabang ilmu-ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu kepada Habib Abdullah Syami, di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu adalah kitab Minhajuth Thalibin (karya Imam Nawawi) dan kitab Bughyatul Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).

Di lain sisi, setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar sarjana muda di sana. Kemudian ia merampungkan gelar sarjana lengkapnya di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta saat ini.
Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Tahun 1982 ia mendaftarkan diri di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. dalam sebuah program pendidikan yang saat itu dinamakannya sebagai Program Doktoral.

Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melewati tes masuk pada tahun itu. Dan setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.

Tidak Berminat pada Gelar
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang muballigh.

Pada mulanya, ia sendiri tidak terlalu berminat menjadi seorang penceramah. Ia lebih menyukai mengajar dan menjadi qari’. Karena desakan rekan-rekannya yang mengetahui potensi dirinya dalam berdakwah, ia pun mulai bersedia berdiri di atas mimbar-mimbar ceramah, di samping aktivitas mengajar di belasan majelis ta’lim rutin yang masih diasuhnya hingga saat ini.

Kiprahnya dalam bidang pendidikan formal dimulai saat ia menjadi guru di Yayasan Pendidikan Asy-Syafiiyyah, pimpinan K.H. Abdullah Syafi’i, tempat ia mulai menimba ilmu-ilmu secara lebih intensif. Selain menjadi guru sejak tahun 1976 di Asy-Syafi’iyyah, ia juga menjadi dosen pada universitas yang ada di yayasan tersebut. Pada tahun 1980, saat ia baru menginjak usia 25 tahun, ia dipercaya menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah (MA) Al-Ikhsan, Condet, Jakarta Timur.

Sejak tahun 1986 hingga sekarang, ia bertugas sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di almamater tempat ia sempat menimba ilmu selama beberapa tahun ini, kapasitas keilmuannya membuatnya pernah tercatat mengajar hingga 17 mata kuliah berbeda di sepuluh tahun pertama ia mengajar di sana. Saat itu sistem kepengajaran belum “setertib” sebagaimana sekarang, hingga ia pernah mengajar mata kuliah Ilmu Hadits, Tafsir, Manthiq, hingga mata kuliah Filsafat Barat.

Aktivitas akademisnya ini juga dilengkapi dengan tugas dari instansinya untuk membimbing para mahasiswa dalam melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan. Pada tahun 1990 ia mendapat tawaran dari Universitas Nasional untuk menggantikan posisi Dr. Nurcholis Madjid, yang saat itu sedang tidak ada di Indonesia, dalam menulis di jurnal filsafat berskala internasional. Karena beberapa pertimbangan, ia memilih untuk tidak mengambil tawaran itu.

Bila memperhatikan perjalanan hidupnya jauh sebelum ini, ternyata ia juga seorang yang memiliki kepedulian yang kuat dan visi yang jauh terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Di era tahun 1990-an, ia menjadi juru bicara Forum Silaturrahmi Ulama dan Habaib saat menuntut pembubaran SDSB sewaktu berdialog dengan para anggota DPR kala itu.

Saat tuntutan reformasi bergejolak kuat di tahun 1998, ia juga pernah didaulat untuk turut berorasi di kampus UI Depok mewakili komponen masyarakat dan ulama sehubungan dengan tertembak matinya beberapa mahasiswa Trisakti. Pada tahun yang sama, ia berada pada barisan terdepan sebagai deklarator yang menolak minat beberapa LSM untuk membentuk Kabinet Presidium, yang dianggapnya dapat menuntuhkan negara.

K.H. Saifuddin Amsir juga aktif sebagai narasumber pada banyak seminar dan diskusi ilmiah berskala nasional dan internasional, serta pada rubrik-rubrik keagamaan di stasiun-stasiun televisi, radio, dan media cetak. Selain di UIN, ia juga menerima amanah tugas yang tidak sedikit di beberapa institusi lainnya. Di antaranya, ia ditunjuk sebagai direktur Ma’had Al-Arba’in, staf ahli Rektor Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, dan menjadi anggota Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004, ia ditunjuk menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU.

Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, saat ini ia juga masih tercatat sebagai ketua umum Masjid Jami’ Matraman. Namun, setelah sekian lama ia melazimi majelisnya para ulama besar Jakarta serta menggeluti kitab-kitab padat ilmu karya para ulama klasik dan kemudian ia bandingkan dengan kadar keilmuan yang ada di strata kesarjanaan selanjutnya, ia menjadi tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sejak lama ia tidak berminat pada atribut-atribut akademis dan gelar titel kesarjanaan yang menurutnya telah banyak dinodai oleh sementara orang yang menjadikan itu hanya sebagai aksesori penambah prestise atau bahkan menjadi komoditas pendukung untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.

Pola pandangnya yang seperti ini membuatnya lebih menghargai khazanah ilmu yang beredar di majelis-majelis ilmu para ulama ketimbang menyisihkan waktu lagi untuk meraih gelar pascasarjana.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan, bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman ilmunya.

Betawi Corner
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar keilmuannya.

Padahal dulu, para cendekiawan Prancis yang dikumpulkan oleh Napoleon Bonaparte untuk mempelajari kitab-kitab karya para ulama setelah ia merampasnya dari perpustakaan-perpustakaan muslimin saat itu, misalnya, sedemikian terkagum-kagum terhadap ilmu historiografi dalam tradisi keilmuan masyarakat muslim.
Saat menelaahnya, mereka terinspirasi dengan ilmu hadits dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang sangat memperhatikan sanad dan sedemikian ketat memperhatikan berbagai rujukan sebagai pertanda betapa masyarakat Islam sangat menghargai ilmu dan sejarahnya. Bukan cuma terinspirasi, bahkan mereka kemudian juga menjadikan karya-karya itu sebagai rujukan penting bagi mereka. Saat itu, dunia Barat merasa sangat berkepentingan untuk mempelajari khazanah ilmu kaum muslimin, yang di kemudian hari menjadi akar pencerahan bagi peradaban keilmuan mereka.

Dalam berbagai majelisnya, ia tak pernah bosan mengingatkan umat untuk memperhatikan masalah tersebut. Karena itu, dengan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak Jakarta Islamic Centre, saat ini ia tengah merintis berdirinya suatu lembaga pengkajian yang memagari kemodernan cara berpikir dengan kemurnian ilmu agama yang jernih. Lembaga dengan karakteristik bernuansa Betawi itu ia namakan Betawi Corner.

Di samping sebagai tempat untuk mengkaji khazanah kebudayaan dan ilmu-ilmu keislaman dan meng-counter pemikiran-pemikiran dan pemahaman keagamaan yang destruktif, Betawi Corner juga dimaksudkannya sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah bagi para ulama dan masyarakat Betawi.

Menjauhi Yang Syubhat
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.

Pendidikan dalam keluarganya dimulai dengan menerapkan aturan-aturan yang harus ditaati segenap anggota keluarga, dengan bersandar pada pola hidup yang diterapkan Rasullullah SAW. Pola hidup yang dimaksud adalah pola hidup sederhana dan menjauhi hal-hal yang syubhat.
Menurut Hj. Siti Mas’udah, istrinya, K.H. Saifuddin Amsir adalah ayah sekaligus guru dan sahabat bagi istri dan putri-putrinya. Ia senantiasa menekankan pentingnya agama dan ilmu kepada anak sejak mereka masih kecil. Shalat berjamaah adalah suatu keharusan dalam keluarga ini.

Dalam hal makanan, ia tidak memperkenankan anggota keluarganya mengonsumsi makanan-makanan yang belum terjamin kehalalannya, seperti makanan-makanan produk luar negeri. Sejak dari usia bayi, mereka juga sudah dijauhkan dari makanan-makanan yang belum terjamin kesehatannya, seperti makanan-makanan yang banyak menggunakan bahan pengawet, makanan siap saji, atau makanan yang menggunakan bahan-bahan penyedap.

Setali tiga uang, istrinya, yang akrab disapa Umi, juga tidak kurang perannya dalam membentuk citra kebersahajaan dan kemandirian dalam keluarga. Di samping menangani segala urusan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, bahkan menjahit, ia juga masih menyempatkan diri aktif pada bidang-bidang sosial keagamaan dan mengajar di sejumlah majelis ta’lim.
Dengan menerapkan pola pembinaan dan pendidikan keluarga yang demikian, ia telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai insan-insan pecinta ilmu agama dan pengetahuan. Banyak sudah yang telah diraih keempat putrinya itu. Mengikuti jejak sang ayah, mereka selalu mendapatkan beasiswa dan menjadi lulusan terbaik di almamaternya. Bahkan si bungsu, Rabi’ah Al-Adawiyah, misalnya, sejak berusia 12 tahun sudah hafal tiga puluh juz Al-Quran dengan baik.

Yusuf Islam: Seniman Muslim Paripurna





Ia rela meninggalkan gemerlap dunia untuk menemukan panggilan batin sejatinya: memeluk Islam.



Siapa yang tak kenal Cat Stevens? Ia adalah superstar musik kelas dunia asal Inggris, yang akhirnya banting stir menjadi aktivis kemanusiaan. Bahkan ia lebih banyak menyanyikan lagu-lagu religius, terutama setelah memeluk Islam sekitar 29 tahun lalu, dan menganti namanya menjadi Yusuf Islam. Nama aslinya sendiri adalah Stephen Georgiou



Pada 26 Januari lalu, ia meluncurkan sebuah album untuk menghimpun dana bagi warga Palestina di Gaza, yang menderita akibat agresi dan blokade ekonomi oleh Israel. Peluncuran itu didukung oleh Badan PBB untuk Bantuan dan Kerja (UNRWA), dalam sebuah program kemanusiaan yang disebut Save the Children.

Meski langkahnya dikritik oleh sejumlah kaum Muslimin di Inggris -- yang menganggap bahwa kembali ke dunia musik dan tarik suara berseberangan dengan semangat Islam – ia tenang-tenang saja. Album baru baru itu bertema The Day the World Gets Around, yang aslinya direkam oleh dua anggota kelompok Beatles: George Harrison (gitar) dan Klaus Voorman (bass). Yusuf Islam menegaskan, bahwa apa yang ia lakukan tidak bertolak belakang dengan esensi ajaran Islam yang ia yakini kebenarannya.

Sebelumnya, Yusuf Islam pernah melakukan hal yang sama untuk membantu anak-anak yang menjadi korban invasi Amerika terhadap Irak. “Saya berharap lagu-lagu itu dapat membantu mengingatkan orang tentang besarnya warisan cinta, perdamaian dan kebahagiaan, di mana kita dapat berbagi ketika menyaksikan para korban perang dan prasangka yang sia-sia serta mengubah kebodohan kita”, katanya.

Ia juga berharap, album barunya itu bisa melejit menyaingi lagu ciptaannya yang pernah sukses, seperti Wild World, Moonshadow dan My Lady d’Arbanville, sehingga jumlah bantuan dari masyarakat dunia akan semakin besar.

Cat Stevens lahir di Soho, London, pada 21 Juli 1948 dari keluarga Nasrani yang materialistis. Namun, Cat Stevens yang telah meraih hampir semua impian orang modern -- kaya, terkenal, dikagumi banyak orang – ternyata tidak mendapat ketenangan batin.

Sebelum masuk Islam, ia terlibat hidup dalam kehidupan glamour, terjebak dalam jeratan narkotika dan minuman keras. Sudah beberapa kali nyawanya nyaris melayang akibat kebiasaan buruknya itu. Maka ia pun memutuskan untuk mencari makna hidup yang sejati.

Dalam perenungannya, ia sadar bahwa manusia hanyalah sepotong jasad, sementara apa yang selama ini ia lakukan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan si jasad. Belakangan ia menyimpulkan, bahwa alam semesta pasti punya penguasa yang bernama Tuhan. Maka, secara tak langsung, refleksinya tentang Tuhan menginspirasi gaya bermusiknya yang religius.

Suatu hari, seorang temannya yang beragama Nasrani yang sempat melewati Masjidil Aqsha di Palestina menyatakan kepada Cat Stevens, bahwa ia merasakan kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalam masjid tersebut. “Sangat berbeda dengan gereja. Meskipun dipadati orang, yang kita rasakan hanyalah kehampaan,” kata sang teman. Sejak diskusi itu, Cat Stevens memutuskan untuk mempelajari Al-Quran.

Ia pun takjub. Semakin sering membaca Al-Quran, semakin kagum ia terhadap Islam dan Al-Quran. Ia kagum bahwa ternyata kitab suci itu mengajak umat Islam untuk menggunakan akal sehat dan berakhlak mulia, sembari mengagungkan Sang Pencipta. Ia pun merasa dirinya semakin kecil, dan sebaliknya semakin besar kebutuhannya terhadap Sang Pencipta.

Akhirnya, pada hari Jumat 23 December 1977, Cat Steavens -- yang kini telah dikaruniai lima orang anak -- bertekad mengikuti panggilan jiwanya dengan mengikrarkan dua kalimah syahadat, dan mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Tentu saja dunia terperanjat. Lebih-lebih, ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia musik. Tak ayal, konser perpisahannya dihadiri jutaan penggemar yang menangisi kepergiannya.

Kini Yusuf Islam aktif dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam di bidang dakwah dan sosial. Ia bahkan mendirikan sebuah madrasah di London. Bersamaan dengan itu ia kembali bermusik dengan gaya yang berbeda dari gaya sebelumnya. “Sebagai muslim, inilah kontribusi saya untuk menyelesaikan salah satu ekses dari agresi Israel ke Gaza, dan sedikit meringankan beban anak-anak yang menjadi korban perang,” katanya.





Untuk mendengarkan karya Yusuf Islam yang terbaru itu, silahkan kunjungi situsnya di http://www.jamalrecords.com/gaza/ (SEL)

K.H. Zubair Muntashor: Kasihnya tak Pernah Putus


Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.

Di kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak anak, termasuk hak pendidikan, seorang kiai justru berkarya dalam diam. Ia memberikan kepada santri-santrinya tidak hanya ilmu, waktu, dan tenaga, melainkan juga cinta yang begitu besar.

Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang hak-hak anak, mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak anak, sang kiai telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut kepada santri-santrinya.

Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan, melalui tulisan, melalui kata-kata, sang kiai dengan rendah hati menyatakan dirinya hanya seorang hamba Allah yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia yang pintar tetapi yang pintar adalah santri-santrinya.

Bagi seorang pengasuh santri, penghargaan yang sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya. Bahkan cintanya tidak hanya kepada santri yang masih jadi anak asuhnya, melainkan juga alumninya. Inilah yang terekam saat alKisah berjumpa kiai khos Madura yang mempunyai ribuan santri dan ratusan alumnus, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, K.H. Zubair Muntashor.

Dulu Agak Mbeling
Kiai Zubair adalah putra pasangan K.H. Muntashor, pendiri Pesantren Nurul Kholil, dan Nyai Nazhifah binti K.H. Imron bin K.H. Muhammad Cholil – yang lebih akrab dengan panggilan Kiai Cholil Bangkalan atau Syaichona Cholil Bangkalan. Jadi, Kiai Zubair adalah cicit Syaichona Cholil.

Menurut cerita salah seorang santrinya, dulu Ibu Nyai Nazhifah lama tidak mempunyai keturunan. Maka, suatu ketika, Kiai Muntashor bermunajat di Makkah. Ketika itulah, Kiai Muntashor mendapat sebutir gabah, yang kemudian diberikan kepada Ibu Nyai.

Alhamdulillah, tak berapa lama, munajat Kiai Muntashor diijabah Allah. Ibu Nyai mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Anak itu pun diberi nama Zubair.

Zubair kecil diasuh dan dididik langsung oleh ayahnya, yang juga salah seorang kiai terpandang di kawasan Bangkalan, dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Hingga saat berusia belasan, ia dikirim untuk belajar di Pondok Pesantren Sidogiri.

Di pesantren tua ini, ia menghabiskan masa belajar selama tujuh tahun. “Saya mondok selama tujuh tahun. Tapi dulu saya agak mbeling, nakal,” kata Kiai Zubair suatu ketika. Semangat belajarnya saat itu memang tidak menggebu-gebu.

Namun ketika ayahandanya wafat, Kiai Zubair tersentak, dan menyadari bahwa dialah generasi penerus satu-satu ayahnya, karena ia anak semata wayang, yang harus melanjutkan estafet dakwah sang ayah, yang juga harus mengasuh ratusan santri di pesantren peninggalan ayahnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil.

Ia bingung, karena belum siap, terutama dari sisi ilmu. Maka, dengan semangat membara, yang dilandasi keikhlasan karena Allah, ia pun berusaha keras belajar dengan cara sorogan kepada beberapa kiai di Madura.
“Saya berusaha dengan ikhlas untuk belajar. Saya tidak ingin pondok peninggalan ayah mati begitu saja,” katanya.

Menurut salah seorang santrinya, setelah sang ayah wafat sekitar tahun 1978, ia berusaha keras untuk belajar mendalami ilmu agama. Namun, di samping usaha yang keras itu, ia juga mendapat anugerah berupa ilmu laduni. Karena itu, tak mengherankan bila di usia yang terhitung muda, sekitar 30 tahun, Kiai Zubair sudah bisa merangkul jama’ah majelis ta’lim peninggalan ayahnya, yang di antara mereka ada kiai sepuh dan ustadz.

Sementara Pesantren Nurul Kholil dalam asuhannya pun berkembang sangat pesat. Tidak saja dari segi infrastruktur pesantren dan jumlah santri, tapi juga kualitas keilmuan santrinya, yang tak kalah dibanding dengan pesantren lainnya.

“Alhamdulillah bisa berjalan lancar, berkat doa mbah-mbah saya dan pertolongan Allah Ta’ala,” kata Kiai Zubair saat ditanya mengenai keberhasilannya dalam mengelola pesantren. Perhatiannya terhadap santri juga sangat besar. Walau para pengurus dan guru telah senantiasa mengontrol santri-santri, Kiai Zubair secara rutin berkeliling melihat keadaan ribuan santrinya itu secara langsung.

Delapan Jam Madura-Jakarta
Banyak kisah unik mengenai dirinya dengan santri-santrinya. Pernah suatu ketika, tahun 1998, salah seorang santrinya diperintahkan untuk ke Jakarta, tepatnya ke Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, menggunakan mobil carry, dalam waktu 10 jam. Si santri tentu heran. Mana mungkin Madura-Jakarta ditempuh dalam waktu 10 jam?

Tetapi Kiai Zubair memaksa, bahkan memarahi si santri. Maka, dengan membaca bimillah, akhirnya si santri berangkat juga. Ajaib, waktu yang ditempuh hanya delapan jam.

Setelah kembali ke Madura, si santri diberi tahu oleh kakak sepupu Kiai Zubair, (almarhum) K.H. Abdullah Schall. “Jangan heran, itu adalah ilmu orangtua Kiai Zubair yang diberikan kepada Kiai Zubair,” katanya. Dalam menguji santrinya, Kiai Zubair juga terkenal unik. Ia sering meminta sesuatu kepada santrinya padahal si santrai masih tidak mampu secara materi. Secara nalar, permintaan itu tidak akan bisa dipenuhi. Tapi justru sebaliknya. Malah, kehidupan si santri menjadi berkah berlipat-lipat. Ini banyak dialami santri-santri Kiai Zubair.

Kedekatan dan kasih sayang Kiai Zubair terhadap santri memang luar biasa. Hal ini sangat dirasakan oleh santri-santrinya, baik yang masih belajar maupun yang sudah menjadi alumni. Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya ini terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.

“Saya senantiasa memperhatikan mereka semua, walaupun mereka telah selesai nyantri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin santri-santri saya menjadi manusia yang baik. Tidak harus menjadi ulama atau ustadz semua. Jika menjadi pedagang, jadilah pedangan yang baik. Tidak menipu orang. Jika menjadi tukang becak pun, jadilah tukang becak yang baik. Kalau waktu shalat, ya shalat. Pokoknya saya berharap semua santri saya bertaqwa kepada Allah SWT,” kata Kiai Zubair.

Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim

Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim

Sistem halaqah atau majelis ta’lim merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di tanah Betawi.

Dalam rentang 482 tahun usia ibu kota Jakarta, gempita dakwah tetap terjaga. Fundamen kukuh yang dibangun para ulama dan habaib sejak kota ini bernama Sunda Kalapa lalu menjadi Jayakarta, Batavia, dan akhirnya Jakarta, telah tertancap kuat di tengah masyarakat Betawi.

Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dan gaya hidup masyarakat Betawi, tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.

Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.

Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.

Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.

Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.

Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.

Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.

Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.

Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.

Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.

Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim.

Peran Halaqah
Menurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.

Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.

Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.

Enam “Pendekar” Betawi
Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.

Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.

Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.

Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.

Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.

Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).

Silsilah Intelektual
Dalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.

Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.

Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.

Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.

Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.

Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.

Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.

Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.

Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.

Tiga Institusi Pendidikan Agama
Salah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)

Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.

Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.

Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.

Tiga Kelebihan
Keberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.

Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.

Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).

Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).

Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.

Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.

Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.

Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.


Sudut Spiritualitas dan Intelektualitas
Kini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.

Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.

Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.

Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.

Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.

Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).

Pemberdayaan Umat
Nama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.

Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.

Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.

Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai.
Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta.

Tasawuf, Alternatif bagi Dahaga Rohani

Tasawuf bukanlah salah satu cara untuk melarikan diri (eskapisme) dari kesulitan kehidupan, melainkan suatu keniscayaan seorang hamba.


Dewasa ini, kajian tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima. Dan bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang. Fenomena seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang beralih ke cara sufistik.

Tasawuf sebagai segi batin agama -- sementara segi lahirnya disebut syari'ah -- adalah bidang ilmu keislaman yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi.

Tasawuf amali ialah tuntunan praktis cara mendekatkan diri kepada Allah, yang identik dengan tarekat. Mereka yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan praktik atau amaliah bertasawuf. Sementara tasawuf falsafi ialah kajian secara mendalam dengan tinjauan filosofis dari segala aspek. Dalam tasawuf falsafi dipadukan visi intuitif tasawuf dan visi rasional filsafat.

Ajaran ketiga jenis tasawuf itu bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdhah) untuk mewujudkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti luhur), baik secara individual maupun sosial. Dengan demikian, tasawuf menjanjikan penyelamatan di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialistis, hedonis, pragmatis, sekular, serta kehidupan yang semakin sulit secara ekonomis maupun psikologis.

Tak pelak, tasawuf merupakan alternatif untuk memenuhi dahaga rohani dan mengatasi krisis kerohanian manusia modern, sehingga tidak mengenal jati diri, arti dan tujuan kehidupan. Maka, “mata air” tasawuf yang sejuk mampu menyegarkan dan menyelamatkan manusia yang (merasa) terasing.

Tasawuf yang cenderung lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragaman cara beragama belakangan ini menjadi alternatif bagi kaum muslimin di perkotaan. Bahkan kajian tasawuf pun cukup laku di beberapa kota besar. Dan semakin banyaknya peminat, buku-buku bertemakan hal-hal spiritual pun membanjiri toko-toko buku.

Ada yang bilang tasawuf adalah salah satu cara untuk melarikan diri (eskapisme) dari kesulitan menghadapi kehidupan. Tasawuf merupakan keniscayaan seorang hamba Allah SWT. Sesungguhnyalah, kehidupan di dunia tidaklah mungkin terelakkan sebagai rumah sekaligus kuburan manusia.

Persoalannya, bagaimana bisa hidup lebih baik di dunia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dalam kitabnya, Taj al-Salatin, sufi besar Melayu asal Aceh, Bukhari al-Jauhari, menulis, hidup manusia merupakan perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi.

Menurut Julia Day Howell, pakar sufisme urban dari Univesitas Griffith, Australia, dalam sebuah kajian antropologis tentang gerakan sufisme di Indonesia, sufisme di perkotaan merupakan fenomena umum yang terjadi hampir di semua kota besar di dunia, termasuk Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Gerakan spiritual sebagian warga perkotaan di Indonesia mulai marak sejak tahun 1990-an ketika kegiatan para sufi mulai terlembagakan.

Sementara menurut Abdul Hadi WM, dosen filsafat Universitas Paramadina, Jakarta, sejak tahun 1970-an, terutama 1980-an, kebangkitan tasawuf mulai terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Pelopornya para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendikiawan.

Siapa yang berjasa menyebarkan tasawuf kepada masyarakat (modern) Indonesia? Menurut Dr. Said Agil Siradj, salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pionir penyebaran tasawuf secara nasional di Indonesia, terutama kepada kaum terpelajar di kota-kota besar, ialah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), melalui bukunya, Tasawuf Modern. Buya Hamka adalah ulama yang pertama kali mengangkat tema tasawuf di tingkat nasional.”

Melalui buku itulah Buya Hamka berhasil mencitrakan bahwa kaum sufi tidak lagi sebagai sekumpulan orang yang kumuh, sementara tasawuf adalah pola pikir keagamaan yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan modern. Begitu piawai Buya Hamka meyakinkan pembacanya, sehingga tak terasa mereka sudah bersentuhan dengan pikiran-pikiran cemerlang Imam Al-Ghazali. Meski dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, pemikiran tasawuf Buya Hamka mengacu pada tasawuf yang dianut Ahlus Sunnah wal Jamaah, dalam hal ini Nahdlatul Ulama.

Menurut Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta, tasawuf memiliki daya pikat karena mewakili dimensi keagamaan, yakni dimensi esoteris agama. Tasawuf menjanjikan pengalaman keruhanian manusia yang rindu untuk selalu dekat pada dan bersama dengan Allah SWT. Pengalaman mukasyafah (tersingkapnya jarak antara manusia dan Allah SWT), tidak akan terjadi selama manusia masih dibungkus oleh pakaian materi. Karena Allah SWT bersifat rohani, maka untuk bertemu dengan-Nya manusia haruslah berpakaian rohani, yang disebut zuhud.

Senin, 27 Juli 2009

Bulan Sya'ban

BULAN SYA'BAN

Alhamdulillah Puji dan Syukur kita panjatkan Kepada Dzhat Yang mulia Allah Swt yang mana kita masih diberikan panjang umur sehat dan iman kepadanya.
Dengan kasih sayang Allah Swt kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk menemui bulan Sya’ban yang mulia ini, ketahuilah wahai kaum muslimin dan muslimat
Bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia, bulan yang sangat mashur dengan keberkahannya, dan juga bulan taubat, Taat dibulan ini mendapatkan pahala yang berlipat ganda, siapa orang yang memanfaatkan bulan sya’ban ini untuk taat kepada Allah dia akan beruntung ketika datang bulan ramadhan, Bulan Sya’ban adalah bulan Nabi Muhammad Saw, seperti hadist mengatakan : Bulan Rajab adalah bulan Allah, bulan Sya’ban adalah bulanku, dan
bulan Romadhon adalah bulannya Ummatku, tetapi sedikit yang mengingat kemuliaan Bulan Sya’ban”.
berarti bulan ini adalah bulan Sholawat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw didalam kitab tuhfatu ikhwan kita dianjurkan memperbanyak sholawat kita dibulan yang mulia ini.
Didalam kitab itupun Nabi Muhammad Saw berkata : Sesungguhanya malam Nisfu Sya’ban Allah Swt akan mengampunin semua dosa-dosa orang-orang muslim kecuali Dukun, Penyihir, peminum Arak dan Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Disunnahkan Menghidupkan malam nisfu Sya’ban Diriwayatkan Al Asfihani Didalam kitab ( Attarqib ) dari Mua’d bin jabal Nabi Muhammad Saw berkata : Siapa orang yang menghidupkan Lima malam ini balasannya adalah Syurga yaitu Malam Tarwiyah, Malam A’rofah, Malam I’dul Adha, Malam I’dul Fitri, dan Malam Nisfu Sya’ban.
Lima Malam yang disebutkan Nabi Muhammad Adalah Malam-malam ijabah mari kita ambil kesempatan yang masih Allah Swt memberikannya kepada kita, mudah-mudahan semua hajat kita dikabulkan Allah Swt.
Malam Nisfu Sya’ban Mempunyai Beberapa nama ini menunjukkan kemuliaan dari bulan tersebut antaralain : Allailatul Mubarokah, Laitul Baroaah, Lailatul Gisma wat Takdir, Dan Laitul Ijabah.
Diriwayatkan oleh sayduna Umar RA Nabi Muhammad Saw Berkata :
Ada lima malam dalam satu tahun yang mana apabila seseorang berdo’a dimalam-malam itu doanya tidak akan ditolak oleh Allah yang maha Mengabulkan,
diantaranya : Malam pertama dari bulan Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Jum’at, Malam Lailatur Qodar, Malam Dua Hari Raya.
Nikmat yang begitu besar Kita Bertuhan Kepada Allah dan Bernabi Kepada Nabi Muhammad Saw, yang mana dalam Satu tahun Banyak sekali fadilah-fadilah dan keutamaan Yang Allah Swt berikan kepada kita sebagai Ummat saiduna Muhammad, Tinggal kita sebagai manusia mau atau tidak mengambil fadilah itu, kita berdoa terus kepada Yang Mulia Allah agar kita selalu dimudahkan dan diberi kenikmatan beribadah kepadanya, ya Allah Ampunin Dosa-dosa Kami Semua.

Sabtu, 25 Juli 2009

Kajian Ta'lim

Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga muslimin memerangi Yahudi.
Orang-orang Islam membunuh Yahudi sampai Yahudi bersembunyi di balik
batu dan pohon. Namun batu atau pohon berkata, "Wahai muslim, wahai
hamba Allah, inilah Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuh saja.
Kecuali pohon Gharqad (yang tidak demikian), karena termasuk pohon
Yahudi." (HR Muslim)

Kemenangan Islam pasti datang, jangan sampai terbesik dihati kita takut dengan musuh-musuh Alloh
takut-lah kalian semua kepada Alloh wahai kaum muslimin,
jika demikian adanya rasa itu hinggap dalam Qolbu kita
maka Alloh yang mengusai langit dan bumi ini
akan menjadikan orang kafir takut kepada kaum Muslimin.

Kamis, 09 Juli 2009

Foto Tanggal 4 Juli 2009







Kami sangat membutuhkan uluran tangan para donatur dan dermawan untuk pembangunan Majelis Ta'lim Al Hijrah yang beralamat: Jl. Kembang VII Rt. 008 Rw. 03 Kelurahan Kwitang Kecamatan Senen . Hubungi, Sdr. Budi-085695596718, Ust. Abdillah-02192387848, Sdr. Nurul Syahrial-02192552662, Sdr. Agus-02193791336