TERIMA KASIH KEPADA PARA DONATUR ATAS PARTISIPASINYA MENSUKSESKAN ACARA ISRA DAN MIRAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW 1431 H TGL. 16 JULI 2010 / 04 SYA'BAN 1431 H

اللسلام علليكم ورحمة الله وبر كا ته

Allahu Nuurrus Samawati Wal Ardh

Allah Adalah Cahaya Langit Dan Bumi

Limpahan puji kehadhirat Allah SWT, yang memuliakan kita dengan undangan agung,



Yaa Rahman.. Yaa Rahim.. Irhamnaa
YA ALLAH AMPUNKAN DOSA KAMI DENGAN KEMULIAAN NABI MUHAMMAD SAW


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu ( MUHAMMAD )tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran










Kamis, 28 Januari 2010

Laporan Keuangan Bulan Desember 2009

Kepada Yth.
Para Donatur yang di cintai Allah S.W.T
di tempat

Dengan Hormat,
Alhamdulillah rabbil'alamin, Asholatu wassalamu 'ala sayyidina Muhammad SAW. ammad ba'du
Puji syukur hanya kepada Allah SWT semata dan Sholawat selalu tercurah kepada kekasihnya Sayyidina Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga yaumil qiyamah.
Dalam kesempatan ini, kami pengurus Majelis Ta'lim Al Hijrah ingin mengucapkan banyak beribu ribu terima kasih Jazakumullah Khairan Katsiran wa Khairal Jazaa atas partisipasi dari awal berdirinya pembangunan Majelis Ta'lim Al Hijrah hingga kegiatan belajar mengajar (Ta'lim Muta'lim) yang berjalan saat ini. Dan kami berharap semoga Allah SWT menjadikan semua ini Amal Ibadah yang tidak pernah terputus kebaikannya sebagai Amal Jariyah. Amin ya Robbal Alamin.
Dan dalam kesempatan ini pula kami ingin memberitahukan tentang kegiatan2 yang telah Majelis Ta'lim Al Hijrah lakukan bersifat Syi'ar Islam bahkan sebagai Da'wah Islamiyah untuk warga sekitar khususnya dan Umat Islam umumnya. Dan Alhamdulillah, Allah SWT banyak memberikan kemudahan dalam kegiatan Muta'lim / Belajar Mengajar pengetahuan Islamiyah di Majelis tersebut baik berupa pelaksanaan kegiatannya hingga dana dari dermawan yang diberikan keluasan rizkinya oleh Allah SWT maka menjadi sebuah kewajiban dari kami untuk melaksanakan Amanat ini, dan tidak lupa Laporan pertanggung Jawabannya.

Berikut Laporan pertanggung Jawaban tentang kegiatan Belajar Mengajar di Majelis Ta'lim Al-Hijrah :
1. Senen Pengajian Remaja Putra Al-Quran & Bahsul Masail Ba'da Isya
2. Selasa Pengajian Remaja Putri & Ibu-ibu Al-Quran Ba'da Isya
3. Rabu Pengajian Remaja Putra Al-Quran & Aqidah Akhlak Ba'da Isya
4. Kamis Pengajian Anak-anak Al-Quran & Hafalan Ba'da Isya
5. Jum'at Pengajian Remaja Putri & Ibu-ibu Al-Quran Ba'da Isya
6. Sabtu Pengajian Anak-anak Al-Quran & Hafalan Ba'da Isya
7. Minggu Pengajian Remaja Putra Pembacaan Ratib Ba'da Maghrib - Selesai
8. Senen - Kamis Pengajian Anak-anak Latihan membaca Iqra & Alquran setiap Ba'da Maghrib

Adapun Tentang Keuangan kegiatan Belajar Mengajar sebagai berikut :
PEMASUKAN DANA MAJELIS TA'LIMKEGIATAN " TA'LIM MUTA'LIM / KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR "
1. Ariyadi Arifin. Rp. 100,000.- Cash
2. Ibu Ashraf Farahnaz. Rp, 50,000.- Cash
3. Dian S. Rp. 15,000.- Cash
4. Edwin Kurniawan. Rp. 100.000.- Cash
5. H. Suud. Rp. 50,000.- Cash
6. Ibu. Hj. Hasta P. Marlina. Rp. 50,000.- Cash
7. Soni Sumarna Rp. 50,000 Cash
8. Jiwo Sukarno. Rp. 50,000.- Cash
9. Mahfudin Rp. 50,000 Cash
10. Nur Ichsan Fadhilah. Rp. 25,000.- Cash
11. Supriyadi. Rp. 15,000. - Cash
12.Zami Rp. 25,000 Cash Tgl. 04 Desember 2009
13. Frang Q. Rp.15,000. - Cash
Grand Total Bulan Desember 2009 = Rp. 580,000.-

Estimasi Pengeluaran"Majelis Ta'lim Al Hijrah"(Desember 2009)
1. Ibu Khodijoh Rp. 100,000 Tgl. 2 Januari 2010 - Biaya Pengajar
2. Ibu Encum Rp. 100,000 Tgl. 2 Januari 2010 - Biaya Pengajar
3. Ibu Hj. Umiyati Rp. 50,000 Tgl. 2 Januari 2010 - Biaya Pengajar
4. Ust. Abdi Rp. 25,000 Tgl. 02 Januari 2010 - Biaya Pengajar

Total Pengeluaran Bulan November Rp. 275, 000.-

Sisa Saldo Pendapatan Bulan November 2009 Sudah dikurangi Pembayaran Pengajar = Rp. 320,000.-

Saldo s/d 3 Januari 2010 _ Rp. 1,120,000.-

Terima Kasih.
Pengurus

Rabu, 20 Januari 2010

Pemikiran Salafi

Yang dimaksud dengan “Pemikiran Salafi” di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar
Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
Memahami kasus-kasus furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
Menyerukan “Ijtihad” dan pembaruan. Memerangi “Taqlid” dan kebekuan.
Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti “manhaj salafi” yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “negara ilmu dan Iman”. Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.
Citra “Salafiah” Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra
Istilah “Salafiah” telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap “salafiah”. Orang-orang yang pro-salafiah – baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah – telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda “debat” dan “polemik”, bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan “Salafiah” ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “terbelakang”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan “salafiah” dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham “taqlid”, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’l – malaam ‘anil – A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka
Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang “pembaharu” (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai “pengikut Salaf”.

Mengenal Imam Syafi’i

Riwayat Hidup Imam Syafi’iPENGENALANNama dan Keturunan Imam Al-Shafi’iNama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad.
Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.Penghijrahan ke Palestine
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestine kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.
Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestine pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.
PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I
Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya.
Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestine ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).
Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.
Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun.
Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.
Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )Apabila Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran.
Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.
Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa erti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y.
Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.
Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.
Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.
Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personaliti dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).
Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.
Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.
Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.
FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I
Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.
Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.Imam As-Shafi’i pulang ke pangkuan Ilahi pada tahun 204H, tetapi kepulangannya itu tidaklah mengakibatkan sebarang penjejasan terhadap perkembangan aliran Fiqhi dan Usuli yang diasaskannya. Malahan asas itu disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.
PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I
Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.
Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya
sumber: http://islam.blogsome.com

Perkembangan Madzhab Asy-Syafi’i

Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqih yang mencabar aliran zamannya. IMAM AL-SHAFI’I DAN PENULISANNYAPermulaan Mazhabnya
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pwmbentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.
Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada 3 peringkat :1. Peringkat Makkah (186 – 195H)2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)3. Peringkat Mesir (199 – 204H)
Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.Penulisan Pertamanya
Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.
Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.
Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.
Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab QadimDi samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.
Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-1. Al-Amali2. Majma’ al-Kafi3. ‘Uyun al-Masa’il4. Al-Bahr al-Muhit5. Kitab al-Sunan6. Kitab al-Taharah7. Kitab al-Solah8. Kitab al-Zakah9. Kitab al-Siam10. Kitab al-Haj11. Bitab al-I’tikaf12. Kitab al-Buyu’13. Kitab al-Rahn14. Kitab al-Ijarah15. Kitab al-Nikah16. Kitab al-Talaq17. Kitab al-Sadaq18. Kitab al-Zihar19. Kitab al-Ila’20. Kitab al-Li’an21. Kitab al-Jirahat22. Kitab al-Hudud23. Kitab al-Siyar24. Kitab al-Qadaya25. Kitab Qital ahl al-Baghyi26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain
Setengah perawi pula telah menyebut bahawa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawapan dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawapan terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.
Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawapan dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.
Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim
Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.
Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.
Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpunca dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.
Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-1. Al-Risalah2. Kitab al-Siyam3. Kitab al-Sadaq4. Kitab al-Hudud5. Kitab al-Rahn al-Saghir6. Kitab al-Ijarah7. Kitab al-Jana’iz
Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah.
Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian. Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.
Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.
Kitab-kitab Mazhab JadidDi antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpeindah ke Mesir.ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-
a) Di dalam bab Taharah :1. Kitab al-Wudu’2. Kitab al-Tayammum3. Kitab al-Taharah4. Kitab Masalah al-Mani5. Kitab al-Haid
b) Di dalam bab Solah :6. Kitab Istiqbal al-Qiblah7. Kitab al-Imamah8. Kitab al-Jum’ah9. Kitab Solat al-Khauf10. Kitab Solat al-‘Aidain11. Kitab al-Khusuf12. Kitab al-Istisqa’13. Kitab Solat al-Tatawu’14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah15. Kitab al-Jana’iz16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat :17. Kitab al-Zakah18. Kitab Zakat Mal al-Yatim19. Kitab Zakat al-Fitr20. Kitab Fard al-Zakah21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :22. Kitab al-Siyam al-Kabir23. Kitab Saum al-Tatawu’24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji :25. Kitab al-Manasik al-Kabir26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir
f) Di dalam bab Mu’amalat :28. Kitab al-Buyu’29. Kitab al-Sarf30. Kitab al-Salam31. Kitab al-Rahn al-Kabir32. Kitab al-Rahn al-Saghir33. Kitab al-Taflis34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir35. Kitab al-Sulh36. Kitab al-Istihqaq37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi42. Kitab al-‘Ariah43. Kitab al-Ghasb44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :45. Kitab al-Ijarah46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir49. Kitab Kara’ al-Ard50. Kara’ al-Dawab51. Kitab al-Muzara’ah52. Kitab al-Musaqah53. Kitab al-Qirad54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :55. Kitab al-Mawahib56. Kitab al-Ahbas57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :58. Kitab al-Wasiat li al-Warith59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq60. Kitab Taghyir al-Wasiah61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :63. Kitab al-Mawarith64. Kitab al-Wadi’ah65. Kitab al-Luqatah66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah :67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah68. Kitab Tahrim al-Jam’i69. Kitab al-Shighar70. Kitab al-Sadaq71. Kitab al-Walimah72. Kitab al-Qism73. Kitab Ibahat al-Talaq74. Kitab al-Raj’ah75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz76. Kitab al-Ila’77. Kitab al-Zihar78. Kitab al-Li’an79. Kitab al-‘Adad80. Kitab al-Istibra’81. Kitab al-Rada’82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :83. Kitab Jirah al-‘Amd84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat85. Kitab Istidam al-Safinatain86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad88. Khata’ al-Tabib89. Jinayat al-Mu’allim90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam91. Kitab al-Qasamah92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud :93. Kitab al-Hudud94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah95. Qutta’ al-Tariq96. Sifat al-Nafy97. Kitab al-Murtad al-Kabir98. Kitab al-Murtad al-Saghir99. Al-Hukm fi al-Sahir100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad :101. Kitab al-Jizyah102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi104. Kitab Qital al-Mushrikin105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab109. Kitab al-Dahaya al-Kabir110. Kitab al-Dahaya al-Saghir111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih112. Kitab Dhabaih Bani Israil113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :114. Kitab Adab al-Qadi115. Kitab al-Shahadat116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat118. Kitab al-Aqdiah119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :120. Kitab al-‘Itq121. Kitab al-Qur’ah122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah123. Kitab al-Wala’ wa al-Half124. Kitab al-Wala’ al-Saghir125. Kitab al-Mudabbir126. Kitab al-Mukatab127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad128. Kitab al-Shurut
Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith2. Kitab Jima’ al-Ilm3. Kitab Ibtal al-Istihsan4. Kitan Ahkam al-Qur’an5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah11. Kitab Fada’il Quraysh
Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.

Para Ulama Ahlul Hadits

Para Ulama Ahlul Hadits
بسم الله الرحمن الرحيم
Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur : 1. Khalifah ar-Rasyidin : • Abu Bakr Ash-Shiddiq • Umar bin Al-Khaththab • Utsman bin Affan • Ali bin Abi Thalib 2. Al-Abadillah : • Ibnu Umar • Ibnu Abbas • Ibnu Az-Zubair • Ibnu Amr • Ibnu Mas’ud • Aisyah binti Abubakar • Ummu Salamah • Zainab bint Jahsy • Anas bin Malik • Zaid bin Tsabit • Abu Hurairah • Jabir bin Abdillah • Abu Sa’id Al-Khudri • Mu’adz bin Jabal • Abu Dzarr al-Ghifari • Sa’ad bin Abi Waqqash • Abu Darda’ 3. Para Tabi’in : • Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H • Urwah bin Zubair wafat 99 H • Sa’id bin Jubair wafat 95 H • Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H • Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H • Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H • Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H • Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq • Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H • Muhammad bin Sirin wafat 110 H • Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H • Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H • Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H • Ikrimah wafat 105 H • Asy Sya’by wafat 104 H • Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H • Aqamah wafat 62 H 4. Para Tabi’ut tabi’in : • Malik bin Anas wafat 179 H • Al-Auza’i wafat 157 H • Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H • Sufyan bin Uyainah wafat 193 H • Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H • Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H • Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H 5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in: • Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H • Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H • Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H • Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H • Imam Syafi’i wafat 204 H 6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in : • Ahmad bin Hambal wafat 241 H • Yahya bin Ma’in wafat 233 H • Ali bin Al-Madini wafat 234 H • Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H • Ibnu Rahawaih Wafat 238 H • Ibnu Qutaibah Wafat 236 H 7. Kemudian murid-muridnya seperti: • Al-Bukhari wafat 256 H • Muslim wafat 271 H • Ibnu Majah wafat 273 H • Abu Hatim wafat 277 H • Abu Zur’ah wafat 264 H • Abu Dawud : wafat 275 H • At-Tirmidzi wafat 279 • An Nasa’i wafat 234 H 8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah: • Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H • Ibnu Khuzaimah wafat 311 H • Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H • Ad-Daruquthni wafat 385 H • Ath-Thahawi wafat 321 H • Al-Ajurri wafat 360 H • Ibnu Hibban wafat 342 H • Ath Thabarany wafat 360 H • Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H • Al-Lalika’i wafat 416 H • Al-Baihaqi wafat 458 H • Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H • Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H 9. Murid-Murid Mereka : • Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H • Ibnu Taimiyah wafat 728 H • Al-Mizzi wafat 742 H • Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H) • Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H) • Ibnu Katsir wafat 774 H • Asy-Syathibi wafat 790 H • Ibnu Rajab wafat 795 H 10. Ulama Generasi Akhir : • Ash-Shan’ani wafat 1182 H • Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H • Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H • Al-Mubarakfuri wafat 1427 H • Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H • Ahmad Syakir wafat 1377 H • Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H • Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H • Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H • Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H • Hammad Al-Anshari wafat 1418 H • Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H • Muhammad Al-Jami wafat 1416 H • Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H • Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H • Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah • Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah • Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan. Diterbitkan di: • Biografi on Oktober 30, 2007 at 7:07 am Comments Off Para Ulama Salaf Lainnya Para Ulama Salaf Ahlul Hadits selain yang disebutkan diatas yang masyur dizamannya antara lain : • Imam Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (wafat 220H) • Ibnu Abi Syaibah (159-235 H) • Imam Asy Syaukani (172-250 H) • Imam al-Muzanniy (wafat 264H) • Imam Al Ajurri (190-292H) • Imam Al Barbahari (wafat 329 H) • Abdul Qadir Al Jailani (471-561 H) • Al-Hafidh Al Mundziri 581-656H • Imam Nawawi (631-676H) • Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H) • Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H) • Imam As Suyuti (849-911 H) Para Ulama sekarang yang berjalan diatas As-Sunnah yaitu: • Syaikh Ahmad An-Najmi (1346-1410.H) • Syaikh Abdullah Muhammad IbnHumayd (1329-1402H) • Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H) • Syaikh Muhammad Dhiya`I (1940-1994.M) • Syaikh Abdullah Al Ghudayyan (1345H..H) • Syaikh Ubail Al-Jabiri (1357H..H) • Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin (1349H..H) • Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilali 1377H/1957M • Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby (1380H..H) • Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman (1380.H..H) • Syaikh Abdullah Bin Abdirrahim Al-Bukhari • Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi • Syaikh Abdullah Shalfiq : Perjalananku ke Indonesia • Para Ulama Sekarang lainnya yang berjalan diatas As-Sunnah (Klick Baca Selanjutnya) Diterbitkan di: • ulama lainya on Oktober 29, 2007 at 4:55 pm Comments Off Keluarga Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم Istri- istri Nabi زوجات النبي • Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH) • Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 SH) • Aisyah binti Abu Bakar (wafat 57 H) • Hafsah binti Umar (wafat 45 H) • Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H) • Maimunah binti Harits (wafat 50 H) • Mariah Qibtiah (wafat 16 H) • Saudah binti Zam`ah (wafat 23 H/ 643 M) • Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H) • Ummu Habibah binti Abu Sofyan (wafat 44 H) • Ummu Salamah (wafat 57 H) • Zainab binti Jahsy (wafat 20 H) Putra-Putri Nabi • Al- Qasim bin Muhammad • Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) • Ruqayyah binti Muhammad (wafat 2 H) • Ummu Kultsum (wafat 9 H) • Fatimah Az-Zahra (wafat 11 H) • Abdullah bin Muhammad (meninggal ketika kecil) • Ibrahim bin Muhammad (wafat 10 H ketika kecil) Cucu Nabi • Abdullah bin Usman bin Affan (Putra Ruqayyah) • Ali bin Abul Ash (Putra Zainab.meninggal ketika kecil.) • Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.) • Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H) • Zainal Abidin (wafat 93H) • Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (wafat.75H) Paman Nabi • Abbas bin Abdul Mutalib (wafat 32 H) • Abu Thalib bin Abdul Muthalib (wafat 3 SH) • Hamzah bin Abdul Mutalib (wafat 3 H) Diterbitkan di: • Keluarga Nabi on Oktober 28, 2007 at 6:38 am Comments Off Para Sahabat Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم • Abdullah bin Jahsy (wafat 3 H) • Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 32 H) • Abdullah bin Abbas (wafat 68 H) • Abdullah bin Amru bin Ash (wafat 65 H) • Abdullah bin Khuzafah As Sahmi (wafat 28 H) • Abdullah bin Masud bin Gafil (wafat 32 H) • Abdullah bin Rawahah (wafat 8 H) • Abdullah bin Salam (wafat 43 H) • Abdullah bin Umar bin Khattab (wafat 73 H) • Abdullah bin Ummi Maktum (wafat 14 H) • Abdullah bin Zubair (wafat 73 H) • Abdurrahman bin Auf (wafat 32 H) • Abu Bakr Siddik (51 SH-13 H) • Abu Dardaa (wafat 32 H) • Abu Hurairah (wafat 59 H) • Abu Musa Asy’ari (wafat 44 H) • Abul Ash bin Rabi’ al Absyamial Qurasyi • Abu Sufyan bin Harists • Abu Thalhah An.Anshary • Abu Dzarr Al Gifari (wafat 32 H) • Adi bin Hatim (wafat 68 H) • Ali bin Abu Thalib (23 SH-40 H) • Anas bin Malik bin Nadar (wafat 93 H) • Bilal bin Rabah Al Habasyi (wafat 20 H) • Hakim bin Huzam (wafat 54 H) • Hamzah bin Abdul Muthalib (wafat 3 H) • Hasan bin Ali (wafat 50 H) • Husein bin Ali (Wafat ..H) • Huzaifah bin Yamman (wafat 36 H) • Jakfar bin Abu Thalib (wafat 8 H) • Muawwiyah bi Abu Sofyan (20 SH-60 H) • Muaz bin Jabal (wafat 18 H) • Rabi’ah bin Ka’ab • Said bin Amir Huzaim Al Jumahi • Said bin Zaid • Tsumamah bin ‘Utsal • Thufeil bin Amr Addausi • Umar bin Khaththab (40 SH-23 H) • Umair bin Sa’ad • Usamah bin Zaid • Uqbah bin ‘Amir al Juhani • Ustman bin Afffan (47 SH-35 H) • Usaid bin Hudhair • Zaid bin Tsabit (wafat 45 H) • Para Sahabat Rasulullah Lainnya (Baca selanjutnya) Diterbitkan di: • Sahabat on Oktober 27, 2007 at 9:27 am Comments Off Para Shahabiyah Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم • Asma binti Abu Bakar (wafat 73 H) • Asma Binti Yazid Al-Anshariah (wafat 30 H) • Asma binti ‘Umais (Ummu Ubdillah) • Asy Syfa binti Harits • Barirah maulah ‘Aisyah • Hamnah bintu Jahsyi • Hindun binti ‘Utbah • Khansa binti Amru wafat 24 H • Khaulah binti Tsa’labah • Rubai bin Ma’udz • Raihanah binti Zaid bin Amru • Shafiyah binti Abdul Muththalib • Sumayyah binti Khayyath • Umamah Bintu Abil ‘Ash • Ummu Athiyyah Al-Anshariyah • Ummu ‘Aiman (Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr) • Ummu Fadhl (Lubabah binti al-Haris) • Ummu Hani’ binti Abi Thalib • Ummu Syuraik al Quraisyiah • Ummu Haram (Malikah binti Milhan bin Khalid Al-Anshariah) wafat 28 H • Ummu Halim bin Harits • Ummu Umarah (Nusaibah binti Kaab) wafat 13 H • Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah • Ummu Waraqah binti Naufal • Ummu Ruman bintu ‘Amir • Ummu Sulaim binti Malhan • Para Shahabiyah Rasulullah lainnya (Baca Selanjutnya) Diterbitkan di: • shahabiyah on Oktober 26, 2007 at 5:49 am Comments Off Para Tabi’in dan Tabiut Tabi’in • Abdullah bin Tsuaib (Abu MuslimAl Khaulani) • Abdullah bin al-Mubarak • Abu Hanifah • Aisyah binti Thalhah • Amir Bin Abdillah Attamimi • Atba’ bin Abi Rabah • Zainal Abidin bin Husain Ali Abithalib • Hasan Al-Bashri • Muhammad ibnu Wa’asi al Azdiy • Muhammad bin Sirin • Rabi’ah ar Ra’yi • Said Ibnu al Musayaab • Said ibnu Jubair • Salamah ibnu Dinar • Shilah bin Asy Syam al ‘Adawi • Syuraih al Qadli • Thaawus ibnu Kaisan • Urwah bin Zubair • Umar bin Abdul Aziz • Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz • Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti: Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya. Sumber : http://ahlulhadist.wordpress.com/

Fadilah Amal

Fadilah Amal

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Menyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
Ada dua cara seseorang di dalam membaca kitab Allah. Pertama, tilawah hukmiyyah, yaitu membenarkan segala berita yang ada di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, tilawah lafhzhiyyah atau qira’atul Qur’an, banyak sekali nash-nash yang menyebut fadilahnya. Dalam Shahih Bukhari, disebutkan riwayat dari Utsman bin Affan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam Shahihain, disebutkan pula hadits dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an kelak (mendapat tempat disurga) bersama para utusan yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan masih terbata-bata, dan merasa berat dan susah, maka dia mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala ini, salah satunya merupakan balasan dari membaca Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan yang kedua adalah atas kesusahan dan keberatan yang dirasakan oleh pembacanya.
Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena pada hari Kiamat nanti dia akan datang sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia mendapatkan satu kebaikan, sedangkan kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi)
Fadilah amal ini meliputi seluruh kandungan isi Al-Qur’an. Banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan fadilah surat-surat tertentu, misalnya surat Al-Fatihah. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Abu Sa’id bin Mu’alla bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Aku akan mengajarkanmu surat yang paling agung di dalam Al-Qur’an, yaitu Alhamdulillaahi Rabbi l-‘alamiin (Al-Fatihah). Ini adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an agung yang diberikan kepadaku.”
Oleh karena keutamaannya itu, maka membacanya menjadi bagian dari rukun shalat. Shalat tidak akan menjadi sah tanpa membaca Al-Fatihah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
Surat dalam Al-Qur’an lainnya yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah surat Az-Zahrowain, yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran. Karena sesungguhnya keduanya akan datang pada hari Kiamat seperti dua buah awan atau seperti dua kawanan burung yang sedang terbang berbaris membela orang-orang yang biasa membacanya. Bacalah surat Al-Baqarah karena membacanya membawa berkah sedangkan meninggalkannya akan menyebabkan penyesalan. Surat ini tidak akan bisa dibaca oleh para tukang sihir.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan bisa dimasuki setan.” (HR. Muslim)
Surat lainnya yang mempunyai keutamaan khusus adalah surat Al-Ikhlas. Dalam Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Said Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”
Selain itu, surat yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Falaq dan An-Nas, atau biasa disebut mu’awwidzatain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kamu beberapa ayat yang diturunkan pada hari ini yang belum pernah sebanding dengannya? Yaitu Qul ‘a’udzibi Rabbi l-falaq, dan Qul ‘a’udzubi Rabbi n-nas.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh memperbanyak bacaan Al-Qur’an yang penuh berkah, apalagi di bulan Ramadhan. Para Salafush Shalih dahulu selalu memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Imam Malik, jika Ramadhan tiba, maka beliau berhenti dari membaca hadits dan majelis-majelis ilmu (berhenti mengajar) untuk kemudian berganti membaca Al-Qur’an. Imam Qatadah selalu meng-khatam-kan bacaan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, sedangkan pada bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap tiga hari sekali, dan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap hari.
Sumber:
Kajian Romadhon, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: Al-Qowam

Senin, 18 Januari 2010

wali songo

Walisongo

(click on each pictures to read short biography/story)

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha

Jadwal Puasa Sunah 1431 H

1. Puasa sunnah tiap hari Senin dan Kamis

2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan (Tanggal 13,14,15 di kalender Islam)
- 30, 31 Desember 2009, 1 Januari 2010/Muharram 1431 H
- 28, 29, 30 Januari 2010/Shafar 1431 H
- 27,28 Februari, 1 Maret 2010/Rabi’ul Awwal 1431 H
- 29, 30, 31 Maret 2010/Rabi’ul Akhir 1431 H
- 27, 28, 29 April 2010/Jumadil Awwal 1431 H
- 27, 28, 29 Mei 2010/Jumadil Akhir 1431 H
- 25, 26, 27 Juni 2010/Rajab 1431 H
- 25, 26, 27 Juli 2010/Sya’ban 1431 H
- Puasa (wajib) Ramadhan 1431 H - 11 Agustus - 9 September 2010 ***t275: dengan demikian, tidak ada puasa sunnah 3 hari di bulan Ramadhan..***
- 22, 23, 24 September 2010/Syawwal 1431 H
- 21, 22, 23 Oktober 2010/Dzulqa’idah 1431 H
- 19, 20, 21 November 2010/Dzulhijjah 1431 H. ***tgl 19 November = hari terakhir Tasyriq, tidak boleh berpuasa***

3. Puasa Sepertiga Bulan - Yakni di bulan Dzulhijjah (antara 7 November - 6 Desember 2010).
Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi selain orang yang melaksanakan haji. Tanggal 15 November 2010.
Puasa dilakuan 7 November - 15 November 2010, terputus dengan idul Adha dan hari Tasyrik,dilanjutkan lagi tgl 20 & 21 November 2010.

Tidak boleh berpuasa :
Hari Idul Adha - 10 Dzulhijjah / 16 November 2010.
Hari tasyriq 11,12,13 Dzulhijjah / 17, 18, 19 November 2010.

4. Puasa Bulan Muharram - ‘Asyura’ selama 3 hari - 9, 10, 11 Muharram
Sangat dianjurkan tanggal 9 dan 10 (Tasu’a dan ‘Asyura) 26, 27, 28 Desember 2010.

5. Puasa pada sebagian bulan Sya’ban
Antara 13 Juli - 10 Agustus 2010.

6. Puasa pada bulan Syawal - 6 hari
Tidak diperkenankan puasa pada 1 Syawal (10 September 2010)
Antara 11 September - 8 Oktober 2010.

7. Puasa Daud - berpuasa selang seling
Berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari. *kecuali hari2 yang dilarang berpuasa*

Semoga bermanfaat

Jumat, 15 Januari 2010

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi

Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menggunakan Minyak Wangi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)

5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib

Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah

“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat

Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

8. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya.

(Disarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono)

***

Penulis: Abu Abdirrohman Bambang Wahono
Artikel www.muslim.or.id

HADITS-HADITS TENTANG KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN HARI JUMAT

HADITS-HADITS TENTANG KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN HARI JUMAT

Hari Jumat adalah hari yang memiliki arti yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena merupakan hari raya bagi mereka. Sangat banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan dan kekhususan hari Jumat dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memuat hadits-hadits tersebut hingga beliau berkesimpulan paling tidak ada 33 kekhususan hari Jumat dari hari-hari yang lain.
Al Hafizh Suyuthi menulis kitab yang beliau beri judul Al Lum’ah fi Khashoish Al Jumu’ah. Beliau di kitab ini menyebutkan hadits-hadits yang sangat banyak -termasuk diantaranya hadits-hadits lemah- yang menerangkan keutamaan dan kekhususan Jumat; dimana beliau berkesimpulan ada 101 kekhususan Jumat dari hari selainnya.
Di silsilah pertama dari kumpulan hadits-hadits tentang Jumat kali ini kami memilihkan untuk antum sekalian hadits-hadits yang insya Allah dijamin keabsahannya yang kami cukupkan dengan sepuluh point kekhususan hari Jumat dari sekian banyak kekhususannya, Wallohu Waliyyut Taufiq.
1. Hari Ied yang Berulang Setiap Pekan

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ »

Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Diantara fiqh hadits :

• Setiap ummat memiliki hari Ied (hari raya)
• Hari Ied bagi kaum muslimin dalam setiap pekannya adalah hari Jumat
• Disyariatkannya mandi bagi setiap yang mau menghadiri shalat Jumat
• Pada saat menghadiri shalat Jumat dianjurkan memakai wewangian bagi yang memilikinya dan juga diperintahkan bersiwak
• Disyariatkan mengagungkan hari raya
2. Diharamkan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat dan dimakruhkan mengkhususkan malamnya untuk shalat malam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : « لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ » (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat kecuali jika engkau juga berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk shalat lail dan jangan kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa kecuali jika bertepatan dengan waktu yang seseorang yang biasa berpuasa padanya” (HR. Bukhari dan Muslim,lafal hadits ini baginya)
Diantara fiqh hadits :

• Larangan mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah
• Boleh berpuasa sunnah di hari Jumat jika berpuasa sebelumnya atau sehari sesudahnya atau jika bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu seperti puasa Arafah dan lainnya
• Larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat lail
3. Disunnahkan membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan Al Insan di rakaat kedua pada saat sholat shubuh

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِـ”ألم تَنْزِيلُ” فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَفِي الثَّانِيَةِ “هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا”

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam membaca pada shalat shubuh di hari Jumat Alif Laam Miim Tanzil (surat As Sajdah) di rakaat pertama dan Hal Ataa ‘alal Insan Hiinun Min Ad Dahr Lam Yakun Syaian Madzkuura (surat Al Insan) (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara fiqh hadits :

• Perhatian para sahabat terhadap surat/ayat yang dibaca oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada saat shalat
• Penjelasan kadar bacaan imam pada saat shalat shubuh
• Disyariatkannya membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan surat Al Insan di rakaat kedua pada saat shalat Shubuh di hari Jumat
4. Pada hari Jumat ada waktu mustajab untuk berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ : « فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ » وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang hari Jumat, “Pada hari Jumat ada waktu yang mana seorang hamba muslim yang tepat beribadah dan berdoa pada waktu tersebut meminta sesuatu melainkan niscaya Allah akan memberikan permintaannya”. Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu tersebut sangat sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara fiqh hadits ini :

• Keutamaan berdoa pada hari Jumat
• Orang yang rajin beribadah adalah orang yang paling patut diterima doanya
• Anjuran untuk mencari waktu-waktu yang afdhal untuk berdoa
• Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan waktu ijabah pada hari Jumat; Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan 42 pendapat para ulama beserta dalilnya dalam menentukan waktu tersebut. Diantara sekian banyak pendapat ada dua pendapat yang paling kuat karena ditopang oleh hadits shohih, yaitu :

Pendapat Pertama : Waktu antara duduknya imam di mimbar hingga selesainya shalat. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari radhiyallohu anhu dimana beliau berkata saya telah mendengar Rasulullah shalallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang waktu ijabah, “Waktunya antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesainya pelaksanaan shalat Jumat”. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, Baihaqi, Ibnul Arabi Al Maliki, Al Qurthubi, Imam Nawawi dll.

Pendapat kedua menetapkan waktu ijabah tersebut adalah ba’da ashar terutama menjelang maghrib. Pendapat ini berdasarkan beberapa keterangan yang disebutkan dalam hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaai dan lainnya dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhuma dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam beliau bersabda(artinya), “Hari Jumat 12 jam, padanya suatu waktu yang kapan seorang hamba muslim berdoa padanya niscaya Allah akan memberikannya, carilah waktu tersebut di penghujung hari Jumat setelah shalat Ashar”. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim, Adz Dzahabi, Al Mundziri dan Al Albani serta dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Pendapat ini yang dipilih oleh banyak ulama diantaranya sahabat yang mulia Abdullah bin Salam radhiyallohu anhu, Ishaq bin Rahuyah,Imam Ahmad dan Ibn Abdil Barr. Imam Ahmad menjelaskan, “Kebanyakan hadits yang menjelaskan waktu tersebut menyebutkan ba’da ashar…”
5. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jumat

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وأحمد)

Dari Aus bin Aus radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang afdhal bagi kalian adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan dan diwafatkan, pada hari Jumat juga sangkakala (pertanda kiamat) ditiup dan padanya juga mereka dibangkitkan, karena itu perbanyaklah bershalawat kepadaku karena shalawat kalian akan diperhadapkan kepadaku” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat yang kami ucapkan untukmu bisa diperhadapkan padamu sedangkan jasadmu telah hancur ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad para nabi” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad yang shohih)
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain
• Diantara kekhususan hari Jumat : Adam alaihissalam diciptakan dan diwafatkan padanya, hari kiamat dan hari kebangkitan juga terjadi padanya
• Perintah memperbanyak shalawat pada hari Jumat
• Shalawat yang kita peruntukkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam akan disampaikan kepada beliau
• Jasad para nabi tidak hancur dimakan tanah
6. Hari Kiamat terjadi pada hari Jumat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : » خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ « رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan juga dikeluarkan darinya serta kiamat tidak terjadi melainkan pada hari Jumat” (HR. Muslim)
Diantara fiqh hadits :

• Hari Jumat adalah hari yang terbaik diantara hari-hari yang ada
• Nabi Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya pada hari Jumat
• Kiamat terjadi pada hari Jumat
7. Seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan dilindungi dari siksa kubur

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ » (رواه الترمذي وأحمد)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malamnya melainkan Allah melindunginya dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Ahmad serta dinilai hasan atau shohih oleh Al Albani berdasarkan banyaknya jalur periwayatannya yang saling mendukung dan menguatkan)
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat
• Adanya fitnah kubur
• Sebagian hamba Allah yang muslim diselamatkan dari fitnah kubur
8. Anjuran membaca surat Al Kahfi di malam Jumat dan pada hari Jumat

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu berkata, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di malam Jumat niscaya Allah akan meneranginya dengan cahaya antara dia dengan Ka’bah” (Riwayat Darimi)

Keterangan : Sanad riwayat ini shohih mauquf dari perkataan Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu akan tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) karena pengabaran hal yang ghoib seperti ini tidak mungkin hanya berdasarkan pendapat pribadi para sahabat. Wallohu A’lam. Beberapa riwayat hadits menyebutkan kata hari Jumat.
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat
• Membaca surat Kahfi pada waktu di atas diantara amalan yang diganjar oleh Allah Azza wa Jalla berupa cahaya
9. Dibolehkan shalat di pertengahan siang di hari Jumat sebelum zawal

عن سَلْمَان الْفَارِسِيّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى « رواه البخاري

Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)
Diantara fiqh hadits :

• Penjelasan beberapa adab yang harus diperhatikan pada saat menunaikan shalat Jumat
• Pahala Jumat berupa pengampunan dosa hanya akan diraih oleh hamba yang menjalankan adab-adab tersebut
• Bolehnya seseorang yang masuk di mesjid pada hari Jumat melaksanakan shalat sebanyak-banyaknya walaupun dipertengahan siang(zawal) hingga imam naik di atas mimbar. Diantara ulama yang menjelaskan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim dan Allamah Syamsul Haq Azhim Abadi rahimahumulloh.
10. Seseorang yang mandi di hari Jumat maka itu merupakan pembersih baginya hingga Jumat berikutnya

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : « مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ فِي طَهَارَةٍ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ». (رواه الطبراني وغيره)

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shalllallohu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat maka dia berada dalam keadaan suci hingga Jumat berikutnya” (HR. Thabrani, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. )

Keterangan : Hadits ini dinilai shahih oleh Suyuthi dan dinyatakan hasan oleh Mundziri dan disetujui oleh Albani
Diantara fiqh hadits ini :

• Anjuran mandi pada hari Jumat
• Keutamaan mandi pada hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain

Ternyata Hari Jum’at itu Istimewa

Ternyata Hari Jum’at itu Istimewa

Penyusun: Ummu Aufa
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman

Saudaraku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudaraku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.


Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.

Keutamaan Hari Jum’at

1. Hari paling utama di dunia

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:

  • Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
  • Hari akan terjadinya kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)

2. Hari bagi kaum muslimin

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)

4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)

Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud)

Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at

1. Memperbanyak shalawat

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Membaca surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)

4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)

  • Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
  • Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
  • Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
  • Memakai pakaian yang terbaik.
  • Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.

Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Maraji’:

  1. Do’a dan Wirid, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
  2. Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, Pustaka Al-Kautsar
  3. Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir

***

Artikel www.muslimah.or.id